Kebudayaan Seppuku, Harakiri

Seppuku (切腹) adalah upacara untuk bunuh diri dan di luar Jepang lebih populer dengan istilah Harakiri, walaupun di Jepang sendiri istilah Harakiri dianggap sebagai istilah yang kasar. Ritual Seppuku biasanya memerlukan keterlibatan aktif paling tidak dua orang, satu yang mau bunuh diri dan satu lagi adalah pendampingnya (Kaishakunin) yang bertugas memenggal kepala orang yang melakukan Seppuku. Hanya saja, dalam pemenggalan itu leher yang dipenggal tidak boleh betul-betul putus, harus ada daging yang membuat kepala yang dipenggal tetap menempel pada tubuhnya. Ini sulit, oleh karenanya sang pendamping haruslah jagoan pedang juga.



Sepuku biasanya dilakukan dengan upacara yang rumit. Orang yang hendak bunuh diri mandi dulu bersih-bersih, lantas pakai pakaian putih-putih, makan dulu, baru sesudahnya siap-siap untuk tusuk dan iris dimulai. Duduk diam dengan Tanto diletakkan di depannya. Menulis puisi terlebih dahulu (Tanto; pedang yang sangat tajam). Selesai, baru itu Tanto diambil lantas ditusukan ke perut agak ke kiri lantas Tanto digeser ke kanan, yang terakhir ke atas sedikit, agar isi perutnya keluar. Selesai, baru sekarang giliran Kaishakunin beraksi menyabet lehernya. Tanto bekas pakai tadi lalu diletakkan di piring bekas makan tadi.

 
Hanya saja pendamping untuk Seppuku hanya untuk orang yang Seppukunya untuk menjaga kehormatan. Misalnya, kalau seorang Samurai tertangkap oleh musuh, maka seorang pendamping akan ditugaskan untuk memenggalnya. Jika Samurainya itu Samurai tukang mencuri, tukang korupsi atau jadi penjahat kacangan lainnya, ya tak ada pendamping, dibiarkan mati saja dengan kesakitan sampai kehabisan darah.

Seppuku sebagai hukuman telah resmi dihapuskan pada tahun 1873, segera setelah restorasi Meiji, tetapi Seppuku secara sukarela belum sepenuhnya mati. Ratusan orang diketahui melakukan Seppuku setelah dihapuskannya. Termasuk beberapa orang anggota militer yang melakukan bunuh diri pada tahun 1895 sebagai protes menolak dikembalikannya wilayah China, setelah meninggalnya kaisar Meiji. Dan lebih banyak lagi tentara dan rakyat yang lebih memilih untuk mati daripada menyerah di akhir PD II.


Dan sebagai dampak budaya, kata ’seppuku' biasa digunakan sebagai metafora seseorang melakukan ”self punishment” sebagai tanggung jawab bila melakukan kesalahan.

Ritual ini telah membudaya di Jepang, sehingga apabila seseorang melakukan kesalahan dan melakukan bunuh diri, maka hal itu sah-sah saja dan dianggap sabagai upaya menebus kesalahan. Dan menurut saya ini adalah sebuah kekerasan karena setiap kali ada orang (warga Jepang) yang melakukan salah, maka ia akan berorientasi untuk bunuh diri, seperti dipaksa oleh keadaan sekitar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Feed My Blog, Leave Your Comment Here :)